Ujian Nasional Penentu Kelulusan?
Hendra Sugiantoro - suaraPembaca
Di tengah polemik UN yang pasang surut menerpa pemerintah maju tak gentar menggelar UN. Untuk menghadapi UN seperti tahun-tahun sebelumnya program pengayaan pun diselenggarakan pihak sekolah melalui penambahan jam pelajaran. Bahkan tak ketinggalan menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses UN.
Pola menghadapi UN seperti itu tentu saja bukan lagi mengejutkan. Setiap tahun selalu ditemukan pola-pola serupa yang dilakukan pihak sekolah. Perbedaannya, apa yang sering dilakukan pihak sekolah pada jenjang SMP/sederajat dan SMA/sederajat itu kini juga diikuti sekolah-sekolah di jenjang SD.
Terkait dengan pergelaran UN memang pro kontra diakui terus muncul sampai detik ini. Salah satunya terkait dengan pola belajar menjelang UN yang dilakukan selama ini.
Seperti terlihat pihak sekolah dan para siswa cukup tertantang dengan pergelaran UN. Entah apakah direkayasa atau berangkat dari kesadaran pribadi siswa terus mempersiapkan diri dengan tekun belajar. Pihak sekolah pun tak mengenal bosan untuk memberikan pendalaman terhadap materi pelajaran yang akan di-UN-kan.
Bahkan, dengan target lulus UN siswa tingkat akhir terus di-drill dengan menjawab soal-soal multiple choice yang diprediksi akan keluar di UN. Yang jelas, UN 2008 dihadapi siswa-siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah pada April sampai Mei.
Untuk siswa SMA/sederajat menghadapi UN pada 22-24 April 2008 lalu. Sedangkan siswa SMP/sederajat pada 5-8 Mei 2008 dan siswa SD pada 13-15 Mei 2008. Diwartakan, UN SMA/sederajat pada tahun ini ditambah 3 mata pelajaran.
Tahun lalu, siswa SMA/sederajat hanya mengerjakan ujian Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan matematika. Kini, siswa SMA jurusan IPA ditambah dengan mata pelajaran Biologi, Kimia, dan Fisika. Ada pun siswa SMA jurusan IPS ditambah dengan mata pelajaran Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Sementara itu untuk siswa SMA Jurusan Bahasa ditambah bahasa asing, sastra Indonesia, dan sejarah budaya/antropologi. Siswa SMA Jurusan Keagamaan akan mendapatkan ujian tambahan Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Tasawuf.
Tak berbeda dengan siswa SMA siswa SMP pun mengalami penambahan mata pelajaran yang diujikan. Selain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika UN untuk siswa SMP ditambah dengan mata pelajaran IPA. Untuk siswa SD, UASBN yang digelar pertama kali pada tahun ini akan mengujikan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.
Selain ada penambahan mata pelajaran untuk UN SMP/sederajat dan SMA/sederajat, standar kelulusan UN pada tahun ini pun meningkat. Pada UN 2008, standar kelulusan adalah rata-rata 5,25 untuk enam mata pelajaran tanpa ada nilai di bawah 4,25.
Setiap siswa boleh mendapatkan nilai 4 asalkan nilai mata pelajaran lainnya
rata-rata 6. Begitu juga untuk siswa SMK harus memiliki nilai kompetensi kejuruan minimal 7 untuk bisa dinyatakan lulus. Jika standar kelulusan untuk UN SMP/sederajat dan SMA/sederajat ditentukan secara nasional, maka pada UASBN untuk siswa SD ditentukan oleh masing-masing sekolah di setiap kabupaten/kota.
Disadari atau tidak, dari pengalaman selama ini, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tak dimungkiri menjadi momok tersendiri. Motivasi pihak sekolah menggulirkan kebijakan penambahan jam pelajaran dan program try out UN lebih disebabkan adanya standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas.
Asumsi ini tentu tak berlebihan karena tak pernah pihak sekolah membuat kebijakan seperti itu saat diselenggarakan ujian sekolah. Dengan adanya standar kelulusan yang harus dicapai pihak sekolah pun tidak bisa main-main lagi karena berkaitan dengan masa depan siswa.
Berbeda dengan ujian sekolah. Pihak sekolah tak pernah 'terbebani' dengan target standar kelulusan. Bahkan pengatrolan nilai tidak dimungkiri sering kali dilakukan.
Memang tak dimungkiri jika UN dengan standar kelulusan yang dipatok secara nasional telah menyebabkan pihak sekolah berorientasi pada UN ansich. Kendati masih ada ujian yang diselenggarakan pihak sekolah otoritas UN dalam meluluskan siswa tetap besar. Dengan kata lain ujian sekolah belum bertaji berhadapan dengan standar kelulusan UN yang dipatok Depdiknas.
Berbicara lebih lanjut dengan melihat fakta di lapangan dan berita-berita di surat kabar tampaknya ada beberapa hal yang perlu dijernihkan mengenai UN. Pertama, apakah UN merupakan penentu tunggal kelulusan? Kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa?
Jika UN dikatakan sebagai penentu tunggal kelulusan boleh jadi akibat dari standar nasional yang ditetapkan. Dengan adanya standar nasional, para siswa dituntut untuk berjuang maksimal agar bisa lulus. Adanya kondisi seperti itu akhirnya berkembang persepsi bahwa kelulusan siswa hanya ditentukan lewat UN. Padahal, penentuan kelulusan siswa memiliki berbagai persyaratan tidak hanya lulus UN.
Persyaratan kelulusan siswa itu telah dijelaskan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 disebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus ujian nasional.
Nah, poin a, b, dan c yang menentukan kelulusan siswa itu jelas agak dialpakan. Yang terjadi selama ini adalah kejar target lulus UN dengan menempatkan mata pelajaran non-UN secara kurang proporsional. Dengan mencermati isi Pasal 72 (1) PP No 19/2005 itu pihak sekolah selayaknya mendudukkan setiap mata pelajaran pada posisi sederajat karena sama-sama menentukan kelulusan siswa.
Dari uraian di atas akhirnya menjawab pertanyaan kedua. Apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jawabannya kian jelas bahwa semua mata pelajaran memegang posisi penting dalam meluluskan siswa.
Pertanyaan selanjutnya apakah pihak sekolah berani untuk tidak meluluskan siswa jika mata pelajaran non-UN belum dikuasai siswa? Atau dengan kata lain apakah pihak sekolah tidak akan meluluskan siswa jika hasil ujian sekolahnya terhitung di bawah rata-rata? Tentu saja hanya pihak sekolahlah yang berhak menjawabnya. Wallahulam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281
hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
085292349293
Penulis adalah Akademikus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)(msh/msh)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
0 komentar:
Posting Komentar